Selasa, 27 September 2011

Lokakarya Kriteria Awal Bulan: Perwakilan Ormas Islam Bersepakat

Alhamdulillah, langkah maju dicapai dalam “Lokakarya Mencari Kriteria Format Awal Bulan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kementerian  Agama RI di Hotel USSU, Cisarua, Bogor, 19 – 21 September 2011.  Lokakarya dihadiri sekitar 40 orang hali hisab-rukyat dari ormas-ormas Islam, perorangan, dan dari instansi terkait berhasil menyepakati penggunaan kriteria imkan rukyat. Direncanakan sesudah lokakarya yang bersifat teknis ini akan dilanjutkan dengan musyawarah bersama para ulama, lalu disusul dengan musyawarah nasional ormas-ormas Islam. Tujuannya satu,  mempersatukan ummat Islam dalam penetapan kalender hijriyah, khususnya untuk bulan-bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah yang terkait dengan ibadah
Sebagai pembicara pertama, saya memaparkan presentasi “Menuju Kesepakatan Kriteria Awal Bulan Hijriyah”.  Lalu disusul pembicara dari wakil-wakil ormas Islam dan diskusi. Karena masalah utama adalah masih digunakannya kriteria hisab wujudul hilal, maka pemaparan saya juga memfokuskan pada perbandingan hisab wujudul hilal dan hisab imkan rukyat serta rinciannya sampai implementasinya pada membuatan kelender hijriyah global. Perlu diingat, hisab imkan rukyat bukan hanya kriteria ketinggian 2 derajat, tetapi banyak definisi lainnya. Tetapi, kita bisa memilih kriteria yang disepakati, dengan berbagai pertimbangan (bukan sekadar pertimbangan astronomis, tetapi juga aspek kemudahan aplikasinya oleh semua ormas Islam). Inilah perbandingan hisab wujudul hilal dan hisab imkan rukyat:

Wujudul Hilal Imkan Rukyat
Definisi Piringan atas bulan masih ada di atas ufuk saat maghrib, setelah terjadi ijtimak Bulan berada pada ketinggian tertentu dan syarat-syarat lainnya yang memungkinkan hilal dapat dirukyat
Dalil QS 36:40, tanpa hadits yang eksplisit QS. 2:185, 9:36, 10:5, 36:39, 2:189Dan banyak hadits
Model Fisis Sederhana,  mengabaikan faktor cahaya senja Lebih maju dengan memperhitungkan cahaya senja
Sifat Statis, cepat usang (obsolete) Dinamis, berkembang sesuai temuan baru
Akseptibilitas Kurang diterima, karena mengabaikan rukyat Mudah diterima karena merupakan titik temu hisab dan rukyat
Dampak Selalu terjadi perbedaan saat posisi bulan rendah Tidak terjadi perbedaan, karena hisab dan rukyat diselaraskan
Trend Internasional Mulai ditinggalkan, kecuali Ummul Quro Banyak digunakan dalam konsep kalender  global (e.g. IICP, UHC)
Potensi untuk kalender global Lemah, karena sudah usang Kuat, aplikastif untuk 2 zona, regional, wilayatul hukmi
Dari pemaparan dan diskusi peserta lokakarya lalu dirumuskan keputusan lokakarya. Sidang perumusan dipimpin oleh Prof. Dr. Susiknan (wakil dari Muhammadiyah) dan Dr. Izzuddin (Wakil dari Nahdlatul Ulama). Ada langkah maju dari lokakarya ini. Berbeda dengan pertemuan serupa pada 1998 (saat itu Muhammadiyah tidak bersepakat), walau diawali dengan diskusi yang cukup panas namun tetap dalam suasana ukhuwah akhirnya para lokakarya saat ini semua peserta menyepakati kriteria imkan rukyat.
Berikut ini isi kesepakatan itu:
Pertama              :
1. Memantapkan implementasi keputusan USSU Tahun 1998 dengan perubahan sebagai berikut:
a. Kriteria yang digunakan dalam penyusunan Kalender Hijriyah Indonesia adalah posisi hilal yang menurut hisab hakiki bit-tahqiq memenuhi kriteria imkan rukyat.
b. Kriteria imkan rukyat yang dimaksud pada huruf a di atas adalah kriteria “Dua-Tiga/Delapan”, yaitu: pertama, tinggi hilal minimal 2 derajat dan, kedua, jarak sudut matahari dan bulan minimal 3 derajat atau umur bulan minimal 8 jam.
c. Khusus untuk penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah digunakan kriteria sebagaimana huruf a dan didukung bukti empirik terlihatnya hilal.
d. Istilah-istilah teknis hisab-rukyat dan definisi operasionalnya terkait penyusunan Kalender Hijriyah Indonesia adalah sebagaimana terlampir.
2. Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dilakukan dalam sidang Isbat yang dipimpin oleh Menteri Agama RI.
3. Untuk mewujudkan kesatuan Kalender Hijriyah Indonesia perlu dilakukan langkah-langkah konkrit sebagai berikut:
a. Membentuk Tim Kerja Penyatuan Kalender Hijriyah Indonesia.
b. Mengkaji berbagai literatur yang berkembang dengan melibatkan para ahli yang terkait.
c. Melakukan kajian obsevasi hilal secara kontinyu.
d. Melakukan penyusunan naskah akademik dengan pendekatan interdisipliner.
e. Menyelenggarakan Muktamar Kalender Hijriyah Indonesia.
Kedua                :
Mengusulkan kepada Menteri Agama untuk membicarakan secara intensif keputusan lokakarya ini dengan pimpinan ormas tingkat pusat dan MUI Pusat.
Ketiga                :
Mengamanatkan kepada para peserta untuk menjadikan hasil-hasil Keputusan Lokakarya Mencari Kriteria Format Awal Bulan di Indonesia Tahun 2011 sebagai pedoman bersama dalam penyusunan Kalender Hijriyah Indonesia.
sumber :http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/26/lokakarya-kriteria-awal-bulan-perwakilan-ormas-islam-bersepakat/

Senin, 26 September 2011

BAYANG-BAYANG MATAHARI YANG MENGARAH KE QIBLAT



Keterangan gambar :

K = kutub Utara
J= posisi Matahari 21 Juni
K - J = (90 - deklinasi Matahari 21 Juni)
U - J = nilai Deklinasi Matahri 21 Juni
Y = posisi Yogyakarta
0 - Y = nilai Lintang Yogyakarta
K - Y = (90 - Lintang Yogyakarta)
D = posisi Matahari 22 Desember
S - D = nilai deklinasi Matahari 22 desember
K - D = (90 - deklinasi Matahari 22 Desember)
Y - J = (90 - tinggi Matahari 21 Juni)
Y - D = (90 - tinggi Matahari 22 desember)
gari/busur hijau = garis katulistiwa
B - T = potongan dari lingkaran arah Barat/Timur
sudut BYP =  sudut Arah Qiblat Yogyakarta
sudut DYT= sama besar sengan sudut qiblat
sudut 0YP = azimut Matahari 21 Juni = 90 - sudut qiblat
sudut 0YD = azimut Matahari 22 desember = 90 + sudut qiblat
P = titik potong lingkaran tinggi Matahari yang membentuk sudut qiblat dengan garis katulistiwa
sudut UPJ = sama besar dengan sudut YP0
t1 = sudut waktu Matahari 21 Juni saat bertepatan arah qiblat, sama dengan panjang busut 0U = P0 + PU
t2 = sudut waktu Matahri 22 Desember saat bertepatan arah qiblat, sama dengan panjang busur 0S = PS - P0


Kapan Posisi Matahari Dalam Peredaran Hariannya  membentuk Bayangan Yang Mengarah Ke  Qiblat ?

Dulu ketika mempelajari ilmu falak, salah satu materi yang berkesan bagi saya adalah materi tentang  Kapan Posisi Matahari Dalam Peredaran Hariannya  membentuk Bayangan Yang Mengarah Ke  Qiblat ?

Hal ini menarik karena dengan mengetahui kapan terjadi bayangan matahari yang mengarah ke kiblat, kita bisa mengukur arah qiblat dari suatu tempat dengan menegakkan  tongkat lurus di atas permukaan tanah yang rata, kemudian pada saat jam dan menit yang sudah ditentukan sesuai harinya, maka saat itu dapat diketahui arah qiblat yang tepat dari tempat tersebut, tentu dengan syarat saat itu matahari bersinar cerah.
Sehingga dalam prakteknya alat yang perlu dipersiapkan hanyalah sebatang tongkat dan sebuah jam atau alat penunjuk waktu lainnya yang sudah disesuaikan dengan jam setandar, tentu saja sebelumnya sudah melakukan perhitungan terlebih dahulu.

Gambar di atas adalah untuk mempermudah melukiskan pokok permasalahn .dan pemecahannya. Misalnya kita akan mencari jam berapa matahari pada tanggal 21 juni 2011 dan 22 Desember 2011 membentuk bayangan arah qiblat ?

Data yang harus dipersiapkan adalah :
  1. Koordinat kota Yogyakarta
    1. lintang  : -7 ° 48’ LS
    2. bujur : 110° 21’ BT
(data lintang suatu kota bisa kita dapatkan dari peta/atlas, atau dari daftar, internet ataupun alat GPS)
  1. Arah qiblat Yogyakarta : 24° 42’ 55,67” dari titik Barat ke Utara.
(mengenai arah qiblat ada cara perhitungannnya tersendiri, di sisni tidak dibahas).
  1. Data Matahari
    1. 21 Juni 2011.
·        Deklinasi : 23° 26’ 11”  (jan 12 : 00 : 00 WIB )
·        Perata waktu = 1m 15d

    1. 22 Desemberi 2011.
·        Deklinasi : - 23° 26’ 13”  (jan 12 : 00 : 00 WIB )
·        Perata waktu = 1m 15d
(data Matahari bisa didapatkan dari buku/program ephemeris  atau bisa juga dari internet. dalam contoh ini data diambil dari Moon calculator versi 6 oleh Dr. Monzur Ahmed).


Perhitungan untuk tanggal 21 Juni 2011

Dari gambar jika mendapatkan:

J = posisi Matahari pada tanggal 21 Juni
UJ = besaran deklinasi matahari = 23° 26’ 11” 
Y = adalah posisi Yogyakarta
0Y = besaran Lintangnya = -7 ° 48’
Sudut BYP (q) = sudut qiblat = 24° 42’ 55,67”

Jika titik K, J dan Y dihubungkan maka terbentuk  sebuah segitiga bola KJY dengan unsur-unsur yang dapat diketahui antara lain :
KJ = 90 – deklinasi = 90 - SJ = 90 - 23° 26’ 11”  = 66° 33’ 39” 
KY = 90 – lintang = 90 – 0Y = 90 – (-7 ° 48’) = 97 ° 48’
Sudut JYK = azimut matahari (A1) = 90 – qiblat = 90 – BYP (q) = 90 - 24° 42’ 55,67” = 65° 17’ 04,33” karena dihitung berlawanan dengan arah jarum jam maka diberi tanda negatif (- 65° 17’ 04,33”).

Yang dicari adalah besar sutut YKJ (t1). Ini adalah sudut waktu yang terbentuk di kutub K.
t1 = ?

dari ketiga unsur segitiga bola KJY yang sudah diketahui di atas ternyata belum cukup untuk melakukan perhitungan berapa besar sudut t1 tersebut secara langsung, baik dengan aturan sinus maupun aturan cosinus. Namun bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Maka inilah yang menarik !

maka kemudian perlu diperhatikan bahwa besar sudut t1 adalah sama besar dengan panjang busur 0U yang dihitung di sepanjang katulistiwa/ekuator.
Untuk menghitung berapa panjang 0U secara langsung dari segitiga KU0 juga tidak mungkin.

Untuk menyelesaikan permasalah di atas maka perlu pengandaian sebagai berikut, lingkaran tinggi matahari (garis kuning) yang sedang membentuk bayangan kiblat berpotongan dengan busur waktu yang berhimpit dengan ekuator di sebuah titik misalnya titik P. maka kita mendapatkan sebuah segitiga bola siku-siku 0PY dengan sudut siku-siku di titik 0.  dengan unsur-unsur yang diketahui besarnya panjang 0Y = -7 ° 48’, sudut A1= (- 65° 17’ 04,33”), sebagaimana di atas selain sudut siku-sikunya.
Selain segitiga 0PY kita kemudian juga mendapatkan segitiga siku-siku laiannya yaitu segitiga JUP dengan siku-siku di titik U. dengan unsur yang dikethaui yaitu sisi UJ = deklinanasi matahari = 23° 26’ 11” 

Dalam segitiga bola siku-siku berlaku aturan sebagi berikut :
a)      yang diperhitungkan adalah lima unsur saja yaitu dua sisi yang membentuk sudut siku-suku, sisi miring dan dua sudut yang mengapit sisi miring tersebut. Sementara sudut siku-sikunya tidak diperhitungkan.

Maka  dalam contoh  segitiga 0PY di atas maka kelima unsur tersebut adalah sisi 0Y, sisi P0, sisi miring PY, sudut A1 dan sudut YP0,

Sementara dalam segitiga JUP unsur-unsurnya sisi JU, sisi UP sisi miring JP , sudut UJP dan sudut JPU yang besarnya sama dengan sudut YP0

b)     selain dua sisi pembentuk siku-siku maka nilai yang dihitung adalah hasil pengurangan dari 90 maka :

kelima unsur dari segitiga 0PY adalah  menjadi sisi 0Y, sisi P0, (90- sisi PY), (90- sudut A1) dan (90- sudut YP0).
 Sementara dari segitiga JUP unsur-unsurnya sisi JU, sisi UP, (90 - sisi miring JP ), (90 - sudut UJP ) dan (90 - sudut JPU)  yang besarnya sama dengan (90 - sudut YP0)

c)      bila dua dari lima unsur segitiga bola  tersebut  diketahui maka ketiga unsur yang lain juga dapat diketahui dengan  dua aturan sebagi berikut.:

1.      sinus suatu unsur adalah hasil kali tangen dua unsur yang mengapitnya.
2.      Sinus suatu unsur adalah hasil kali cosinus dua unsur yang berhadapan.


Dari aturan segitiga bola siku-siku di atas maka kita dapat menghitung berapa panjang P0, kemudian mencari berapa panjang PU kemudian menjumlahkan keduanya sehingga menjadi panjang 0U yang nilainya sama dengan t1 yang dicari.

Menghitung Panjang busur P0

Dalam segitiga 0PY unsur yang diketahui
A1= (- 65° 17’ 04,33”)
0Y =  (-7 ° 48’)

P0 = ?

Kita gunakan aturan  : sinus suatu unsur adalah hasil kali tangen dua unsur yang mengapitnya. Maka :
Sin 0Y = tan (90- A1 ) x tan P0
tan P0 = sin 0Y/ tan (90 -A1)
tan P0 = sin (-7 ° 48’) / tan (90 - 65° 17’ 04,33”)
tan P0 = sin (-7 ° 48’) / tan 24° 42’ 55,67”
tan P0 = -0,1357155724343044 / 0,4602756439799894
tan P0 = - 0,2948571670244725
P0 = - 16,42853037860237
P0 = ( - 16° 25’ 42,71”)



Menghitung Panjang busur PU

Dalam segitiga JUP unsur yang diketahui adalah UJ = deklinasi Matahari = 23° 26’ 11”  . untuk bisa menghitung panjang PU maka kita perlu satu unsur lagi yaitu sudut UPJ. Sudut UPJ adalah sama besar dengan sudut 0PY,
Untuk mengetahui berapa besar sudut 0PY kita juga bisa menggunakan  aturan sinus suatu unsur adalah hasil kali tangen dua unsur yang mengapitnya. Maka :
Sin P0 = tan 0Y x  tan (90 – sudut 0PY), maka
Tan (90 – sudut 0PY) = sin P0 / tan 0Y
Sehingga
Tan (90 – sudut UPJ) = sin P0/ tan 0Y
Sampai di sini kta bisa menghitung panjang busur PU
Sin PU = tan  UJ x tan (90 – sudut UPJ)
Sin PU = tan UJ x sin P0/ tan 0Y
Sin PU = tan 23° 26’ 11” x sin (-16° 25’ 42,71”) / tan (-7 ° 48’)
Sin PU = 0,4334928872343408 x (-0,2828191142577135) / ( -0,1369829606388288)
Sin PU = 0,8950023698778437
PU= 63,5087342045524910
PU = 63° 30’ 31,44”

Sampai di sini kita sudah mendapatkan panjang busur P0 sebesar ( - 16° 25’ 42,71”) dan panjang busur PU = 63° 30’ 31,44”

Mengapa ada perbedaan tanda antara P0 dan PU?

P0 bernilai negatif karena dihitung dari titik P ke kanan (Timur) berlawanan dengan arah peredaran Matahari harian yang dari Timur ke Barat.
Sedang PU dihitung dari titik P ke kiri (Barat) searah dengan peredaran Matahari harian tsb.

Maka untuk mendapatkan panjang busur 0U adalah dengan mengurangkan P0 dari PU,
0U = PU – P0
0U = 63° 30’ 31,44” - ( - 16° 25’ 42,71”)
OU = 63° 30’ 31,44” + 16° 25’ 42,71”
0U = 79° 56’ 14,15”
Inilah sudut waktu t1 =79° 56’ 14,15”
Untuk menjadikan jam maka sudut waktu dibagi 15 :
79° 56’ 14,15” / 15 = 5 : 19 :44,94
Dibulatkan detiknya menjadi jam 5 :19 :45 sore
Hasil yang di dapat masih dalam bentuk jam istiwak setempat sesuai bujur Yogyakarta 110° 21’ BT.
Untuk mengubah menjadi jam WIB maka dikurangi selisih bujur Yogyakarta dengan bujur WIB (105°) karena Bujur Yogyakarta lebih besar , dan ditambah perata waktu.
Selisih bujur = 110° 21’ - 105° = 5° 21’ dijadikan jam dengan dibagi 15
5° 21’ /15 = 0j 21m 24d
Perata waktu hari itu = 1m 15d
Sehingga
WIB = 5 : 19 : 45 -  0 : 21 : 24 + 0 : 1 : 15
WIB = 4 : 59 :36 sore  atau 16 : 59 :36

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa pa tanggal 21 Juni 2011 Matahari berada di arah qiblat Yogyakarta pada jam 16 : 59 : 36 WIB.

Namun bila menghendaki hasil yang lebih presisi dalam detiknya maka perhitungan busur PU diulang lagi dengan nilai deklinasi Matahari pada jam yang didapatkan, yaitu jam 16 : 59 : 36 WIB, karena perhitunga yang terdahulu adalah menggunakan nilai deklinasi jam 12 : 00 : 00 sebagai ancar-ancar.
Perhitungan untuk tanggal 22 Desember 2011

Untuk kasus posisi Matahari 22 Desember yang kita cari adalah besar sudut t2 yang nilainya sama besar dengan panjang busur 0S.
Di sini kita juga mendaptkan dua buah segitiga bola siku-siku yaitu segitiga 0PY yang sudah kita  hitung di atas dan segitiga SPD yang siku-siku di titik S

Busur 0S adalah bagian dari busur PS dimana
PS = P0 + 0S, sehingga
0S = PS – P0
Panjang P0 sudah diketahui dari perhitungan di atas yaitu ( - 16° 25’ 42,71”)
Maka untuk mengetahui 0S kita perlu menghitung berada panjang busur PS,

Perhitungan busur PS

Yang diketahui
SD = deklinasi Matahari =(- 23° 26’ 13” )
Sudut SPD = 0PY
Tan (90 – sudut 0PY) = sin P0 / tan 0Y
Tan (90 – sudut SPD) = sin P0/ tan 0Y

Sin PS = tan  SD x tan (90 – sudut SPD)
Sin PS = tan  SD x sin P0 / tan 0Y
Sin PS = tan (- 23° 26’ 11”) x sin (-16° 25’ 42,71”) / tan (-7 ° 48’)
Sin PS = -0,4335044056421398 x (-0,2828191142577135) / ( -0,1369829606388288)
Sin PS = -0,8950261511268120
PS = (- 63,5117890264540068)
PS = (- 63° 30’ 42,44” )

0S = PS – P0
0S = (- 63° 30’ 42,44” ) – ( - 16° 25’ 42,71”)
0S = (- 63° 30’ 42,44” + 16° 25’ 42,71”)
0S = (-47° 04’ 59,73”)
Tanda negatif menunjukkan bahwa waktu dihitung ke arah kanan (Timur) atau dihitung mundur dari jam 12.

(-47° 04’ 59,73”) dijadikan jam   dengan dibagi 15
(-47° 04’ 59,73”) / 15 = -3j 08m 20d
12 - 3j 08m 20d = 8 : 51 : 40 istiwak
Dijadikan  WIB = 8 : 51 : 40 -  0 : 21 : 24 + 0 : 1 : 15
= 08 : 31 : 31 WIB


Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa pa tanggal 22 Desember 2011 Matahari berada di arah qiblat Yogyakarta pada jam 08 : 31 : 31 WIB.
Namun bila menghendaki hasil yang lebih presisi dalam detiknya maka perhitungan busur PS diulang lagi dengan nilai deklinasi Matahari pada jam yang didapatkan, yaitu jam 08 : 31 : 31 WIB, karena perhitunga yang terdahulu adalah menggunakan nilai deklinasi jam 12 : 00 : 00 sebagai ancar-ancar.

Terakhir yang perlu diketahui bahwa bayangan qiblat tidak akan terjadi jika harga mutlak deklinasi hari itu lebih besar dari sudut qiblat. Karena jika harga mutlak deklinasi lebih besar dari sudut qiblat maka saat possisi matahari mengarah qiblat, matahari sudah tenggelam atau belum terbit,

Untuk kasus Yogyakarta yang arah Qiblatnya 24° 42’ 55,67” masih lebih besar dari harga mutlah deklinasi maksimal 26° 27’ sehingga bisa dihitung sepanjang tahun, kecuali saat harga deklinasi sama atau hampir sama dengan nilai lintang Yogyakarta  -7° 48’ . saat deklinasi besarnya sama dengan nilai lintang maka saat matahari mengarah ke qiblat adalah saat matahari berkulminasi di tiitik puncak jam 12, sehingga tidak ada bayang-bayang.



Kamis, 15 September 2011

DATA HISAB ROMADLON- SYAWWAL 2H – 10 H (624M – 631M)


Saya jadi pingin juga utak atik accurate time hasilnya sebagai berikut:

DATA HISAB ROMADLON- SYAWWAL 2H – 10 H  (624M – 631M)

Data hisab dengan Accurate Time
Tahun  624 M -  631M
Bulan Romadhon  dan Syawal tahun 2 H – 10 H
Kota Madinah
Long: 39:43:00,0, Lat: 24:33:00,0, Ele:608,0, Zone:3,00
Local Time

====================
Romadlon 2 H
Ijtima’              : 24/2/624
Jam                  : 10 :31
Jam ghurub       : 18 : 27
Umur bulan       : 07 : 56
Tinggi hilal        : 1° 07’ 16”

Syawwal 2 H
Ijtima’              : 24/3/624
Jam                  : 23 :45
Jam ghurub       : 18 : 39
Umur bulan       : -05 : 06
Tinggi hilal        : -4° 59’ 57”

====================
Romadlon 3 H
Ijtima’              : 13/2/625
Jam                  : 00 :41
Jam ghurub       : 18 : 22
Umur bulan       : 17 : 41
Tinggi hilal        : 7° 15’ 31”

Syawwal 3 H
Ijtima’              : 14/3/625
Jam                  : 09 :19
Jam ghurub       : 18 : 35
Umur bulan       : 09 : 16
Tinggi hilal        : 01° 59’ 48”

====================
Romadlon 4 H
Ijtima’              : 2/2/626
Jam                  : 18 :20
Jam ghurub       : 18 : 16
Umur bulan       : -00 : 05
Tinggi hilal        : -02° 25’  05”

Syawwal 4 H
Ijtima’              : 04/3/626
Jam                  : 01 : 36
Jam ghurub       : 18 : 31
Umur bulan       : 16 : 55
Tinggi hilal        : 07° 08’ 12”

====================
Romadlon 5 H
Ijtima’              : 23/1/626
Jam                  : 05 :09
Jam ghurub       : 18 : 09
Umur bulan       : 13 : 00
Tinggi hilal        : 2° 35’ 59”

Syawwal 5 H
Ijtima’              : 21/2/627
Jam                  : 19 : 23
Jam ghurub       : 18 : 26
Umur bulan       : -00 : 57
Tinggi hilal        : -02° 30’ 21”


====================
Romadlon 6 H
Ijtima’              : 12/1/628
Jam                  : 15 :30
Jam ghurub       : 18 : 01
Umur bulan       : 02 : 31
Tinggi hilal        : -02° 06’ 43”

Syawwal 6 H
Ijtima’              : 11/2/628
Jam                  : 94 :12
Jam ghurub       : 18 : 21
Umur bulan       : 14 : 09
Tinggi hilal        : 03° 40’59”


====================
Romadlon 7 H
Ijtima’              : 31/12/628
Jam                  : 16 :30
Jam ghurub       : 17 : 53
Umur bulan       : 01 : 23
Tinggi hilal        : -02° 58’ 47”

Syawwal 7 H
Ijtima’              : 30/01/629
Jam                  : 08 :22
Jam ghurub       : 18 : 14
Umur bulan       : 09 : 51
Tinggi hilal        : 00° 50’ 05”


====================
Romadlon 8 H
Ijtima’              : 20/12/629
Jam                  : 15 :56
Jam ghurub       : 17 : 46
Umur bulan       : 01 : 50
Tinggi hilal        : -03° 13’ 11”


Syawwal 8 H
Ijtima’              : 19/01/630
Jam                  : 07 : 36
Jam ghurub       : 18 : 06
Umur bulan       : 10 : 30
Tinggi hilal        : 00° 46’ 33”


====================

====================
Romadlon 9 H
Ijtima’              : 09/12/630
Jam                  : 21 :10
Jam ghurub       : 17 : 41
Umur bulan       : -03 : 29
Tinggi hilal        :  -05° 59’ 30”

Syawwal 9 H
Ijtima’              : -08/01/631
Jam                  : 10 : 23
Jam ghurub       : 17 : 58
Umur bulan       : 07 : 35
Tinggi hilal        : -00° 06’ 09”


====================
Romadlon 10 H
Ijtima’              : 29/11/631
Jam                  : 06 :39
Jam ghurub       : 17 : 39
Umur bulan       : 10 : 59
Tinggi hilal        : -00° 247’ 09”

Syawwal 10 H
Ijtima’              : 28/12/631
Jam                  : 21 :25
Jam ghurub       : 17 : 50
Umur bulan       : -03 : 35
Tinggi hilal        : -04° 44’ 05”

Pengandaian :

  1. jika semua hilal yang di atas ufuk berhasil di rukyat, maka

1 Romadlon 2 H : 25 /02 / 624  ; 1 Syawal 2 H 26 /03 /624 = 30 hari
1 Romadlon 3 H : 14 /02 / 625  ; 1 Syawal 3 H 15 /03 /625 = 29 hari
1 Romadlon 4 H : 03 /02 / 626  ; 1 Syawal 4 H 05 /03 /626 = 30 hari
1 Romadlon 5 H : 24 /01 / 627  ; 1 Syawal 5 H 22 /02 /627 = 30 hari
1 Romadlon 6 H : 14 /01 / 628  ; 1 Syawal 6 H 12 /02 /628 = 29 hari
1 Romadlon 7 H : 02 /01 / 629  ; 1 Syawal 7 H 31 /01 /629 = 29 hari
1 Romadlon 8 H : 22 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 20 /01 /630 = 29 hari
1 Romadlon 9 H : 11 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 10 /01 /631 = 30 hari
1 Romadlon 8 H : 01 /12 / 631  ; 1 Syawal 8 H 30 /01 /631 = 30 hari

  1. Jika semua hilal tidak berhasil dirukyat

1 Romadlon 2 H : 27 /02 / 624  ; 1 Syawal 2 H 26 /03 /624 = 29 hari
1 Romadlon 3 H : 16 /02 / 625  ; 1 Syawal 3 H 16 /03 /625 = 29 hari
1 Romadlon 4 H : 03 /02 / 626  ; 1 Syawal 4 H 06 /03 /626 = 31 hari (tidak mungkin)
1 Romadlon 5 H : 25 /01 / 627  ; 1 Syawal 5 H 23 /02 /627 = 29 hari
1 Romadlon 6 H : 14 /01 / 628  ; 1 Syawal 6 H 13 /02 /628 = 30 hari
1 Romadlon 7 H : 02 /01 / 629  ; 1 Syawal 7 H 01 /02 /629 = 30 hari
1 Romadlon 8 H : 22 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 21 /01 /630 = 30 hari
1 Romadlon 9 H : 11 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 10 /01 /631 = 30 hari
1 Romadlon 8 H : 01 /12 / 631  ; 1 Syawal 8 H 30 /01 /631 = 30 hari


  1. jika hanya hilal di atas ufuk Romadlon yang berhasil dirukyat
1 Romadlon 2 H : 25 /02 / 624  ; 1 Syawal 2 H 26 /03 /624 = 30 hari
1 Romadlon 3 H : 14 /02 / 625  ; 1 Syawal 3 H 16 /03 /625 = 30 hari
1 Romadlon 4 H : 03 /02 / 626  ; 1 Syawal 4 H 05 /03 /626 = 30 hari
1 Romadlon 5 H : 24 /01 / 627  ; 1 Syawal 5 H 23 /02 /627 = 30 hari
1 Romadlon 6 H : 14 /01 / 628  ; 1 Syawal 6 H 13 /02 /628 = 30 hari
1 Romadlon 7 H : 02 /01 / 629  ; 1 Syawal 7 H 01 /02 /629 = 30 hari
1 Romadlon 8 H : 22 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 21 /01 /630 = 30 hari
1 Romadlon 9 H : 11 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 10 /01 /631 = 30 hari
1 Romadlon 8 H : 01 /12 / 631  ; 1 Syawal 8 H 30 /01 /631 = 30 hari

  1. jika hanya hilal di atas ufuk Syawwal yang berhasil dirukyat
1 Romadlon 2 H : 26 /02 / 624  ; 1 Syawal 2 H 26 /03 /624 = 29 hari
1 Romadlon 3 H : 15 /02 / 625  ; 1 Syawal 3 H 15 /03 /625 = 28 hari (tidak mungkin)
1 Romadlon 4 H : 03 /02 / 626  ; 1 Syawal 4 H 05 /03 /626 = 30 hari
1 Romadlon 5 H : 25 /01 / 627  ; 1 Syawal 5 H 23 /02 /627 = 29 hari
1 Romadlon 6 H : 14 /01 / 628  ; 1 Syawal 6 H 12 /02 /628 = 29 hari
1 Romadlon 7 H : 02 /01 / 629  ; 1 Syawal 7 H 31 /01 /629 = 29 hari
1 Romadlon 8 H : 22 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 20 /01 /630 = 29 hari
1 Romadlon 9 H : 11 /12 / 630  ; 1 Syawal 8 H 10 /01 /631 = 30 hari
1 Romadlon 8 H : 01 /12 / 631  ; 1 Syawal 8 H 30 /01 /631 = 30 hari


Mak tren yang terjadi adalah :


1          2          3          4         


Romadlon 2 H              30        29        30        29       
Romadlon 3 H              29        29        30        28       
Romadlon 4 H              30        31        30        30       
Romadlon 5 H              30        29        30        29       
Romadlon 6 H              29        30        30        29       
Romadlon 7 H              29        30        30        29       
Romadlon 8 H              29        30        30        29       
Romadlon 9 H              30        30        30        30       
Romadlon 10 H            30        30        30        30       

Tren keberhasilan rukyat

2 H, 5 H
Jika awal Romadlon berhasil maka umur Romadlon 30 hari , jika tidak maka 29
Awal Syawwal hilal masih di bawah ufuq

3 H
Jika awal romadlon berhasil dan syawwal berhasil maka umur Romadlon 29 hari
Jika awal romadlon berhasil dan syawwal tidak berhasil maka Romadlon 30 hari
Jika awal romadlon tidak berhasil mestinya syawal juga tidak berhasil supaya umur bulan sesuai

4 H
Awal Romadlon hilal masih dibawah ufuq,
Awal syawal mestinya berhasil supaya umur bulan romadlon sesuai 30 hari

6 H, 7 H, 8 H
Awal Romadlon hilal masih di bawah ufuq,
Jika awal Syawal berhasil maka umur Romadlon 29, jika tidak maka 30

9 H , 10 H
Awal romadlon maupun syawal masih di bawah ufuq.


Kalo hanya berdasar kemungkinan-kemungkinan dari pengandaian di atas maka mungkin yang mendekati riwayat bahwa Nabi lebih banyak berpuasa 29 hari dibanding 30 hari adalah  rukyat awal syawal  3H, 4H, 6H, 7H, 8H  berhasil ditambah awal romadlon 3 H juga berhasil, sementara yang lainnya gagal,sehingga urutan umur Romadlon menjadi 29, 29, 30, 29, 29, 29, 29, 30 , 30

Hilal terendah yang berhasil dirukyat adalah hilal awal syawwal 8 H  dengan tinggi 00° 46’ 33” berumur 10j 30m
Dengan PENGANDAIAN bahwa asal hilal sudah di atas ufuk maka mungkin bisa dirukyat
Walloohu a’lam bish showaab

15 September 2011 12 :32 WIB
JOE PAI
http://www.facebook.com/profile.php?id=100001522896111